Setiap orang yang pernah bekerja pasti punya cerita unik tentang bosnya. Ada bos yang ramah dan sabar, ada juga yang santai dan humoris. Tapi, di antara semua tipe bos, yang paling menegangkan sekaligus… lucu untuk dikenang adalah bos galak. Ya, sosok yang bisa membuat jantung berdebar lebih cepat dari notifikasi gajian, dan bikin tangan gemetar seperti sedang menghadapi ujian sidang skripsi.
Kisah ini datang dari seorang karyawan bernama Rizal, staf administrasi di sebuah perusahaan logistik. Ia dikenal sebagai karyawan yang teliti… kalau sedang tidak ngantuk. Tapi sejak awal bekerja, Rizal sudah punya satu ketakutan terbesar: bosnya, Pak Herman — pria berumur lima puluhan dengan suara berat, alis tebal, dan wajah seperti sedang marah bahkan ketika tersenyum.
Awal Mula Teror Bos Galak
Hari pertama Rizal masuk kerja, suasana kantor terasa seperti ruang ujian nasional. Semua orang duduk tegak, suara keyboard terdengar rapi, dan tak ada yang berani berbicara keras. Rizal yang baru datang dengan semangat “first day energy” langsung berucap lantang,
“Selamat pagi semuanya!”
Namun, belum sempat ada yang membalas, suara berat dari ruangan kaca di ujung kantor langsung terdengar:
“Siapa itu yang berisik pagi-pagi?”
Seketika suasana sunyi. Seorang rekan berbisik panik,
“Sssst! Itu Pak Herman, bos kita. Suaranya kayak speaker rusak tapi hatinya lebih keras lagi.”
Rizal langsung menelan ludah. Energi semangatnya turun drastis, berganti menjadi mode waspada. Hari itu ia belajar pelajaran pertama: di hadapan bos galak, volume suara harus diatur seperti bisikan malaikat.
Misi Gagal di Hari Gajian
Beberapa minggu kemudian, Rizal mulai terbiasa dengan ritme kerja kantor. Tapi suatu hari, ia mendapat tugas penting: mengurus slip gaji seluruh karyawan. Tugas sederhana — asal tidak ada kesalahan. Sayangnya, di dunia nyata, kesalahan adalah teman baik Rizal.
Entah bagaimana, saat membuat slip gaji, Rizal salah mengetik satu angka. Seharusnya Pak Herman menerima Rp12.500.000, tapi yang tercetak malah Rp1.250.000.
Begitu menerima slip-nya, Pak Herman memandangi angka itu lama… sangat lama. Semua orang di kantor mulai menahan napas. Lalu terdengar suara berat khasnya:
“Rizal… ini angka… bercanda ya?”
Rizal mencoba tersenyum kaku.
“E… iya, Pak, mungkin komputer saya lelah, jadi angka-angkanya ikut istirahat…”
Pak Herman menatapnya tajam. “Komputer lelah atau kamu yang kurang teliti?”
Suasana makin tegang. Tapi tiba-tiba salah satu rekan, Dimas, nyeletuk pelan:
“Kalau beneran segitu, Pak, boleh bagi saya sedikit? Saya juga butuh hiburan…”
Semua orang menahan tawa. Bahkan bibir Pak Herman terlihat sedikit bergerak — entah mau marah atau menahan senyum. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang dan berkata,
“Besok, pastikan angkanya benar. Kalau salah lagi, komputer kamu saya kasih cuti selamanya.”
Rizal mengangguk cepat, seolah tanda tangan kontrak damai.
Kejadian Tak Terduga di Ruang Rapat
Minggu berikutnya, Rizal kembali apes. Hari itu ada rapat penting, dan ia ditugaskan menyiapkan proyektor serta presentasi. Semua sudah berjalan lancar sampai ia menyadari satu hal… presentasi yang ia buka bukan file kantor, tapi video lucu dari grup WhatsApp!
Begitu layar menyala, bukannya grafik dan tabel, yang muncul malah video seekor ayam menari diiringi lagu dangdut.
Seluruh ruangan mendadak hening. Mata Pak Herman membulat seperti bola lampu.
“Rizal…” katanya dengan nada sangat pelan — tanda bahaya tingkat tinggi.
Rizal berusaha menenangkan diri.
“Maaf, Pak… sepertinya laptop saya… punya jiwa humor.”
Seluruh ruangan meledak tertawa, termasuk Pak Herman yang berusaha menahan senyum.
“Ya sudah, lain kali, pastikan ayamnya tidak ikut rapat.”
Sejak saat itu, Rizal dijuluki “Si Ayam Dangdut” oleh rekan-rekannya. Julukan itu menempel sampai berbulan-bulan kemudian.
Drama Makan Siang dan Bos yang Tidak Disangka
Meski galak, Pak Herman punya satu kebiasaan yang cukup unik: ia suka memeriksa kantin setiap jam makan siang. Katanya, untuk memastikan semua karyawan makan tepat waktu. Tapi bagi para staf, ini seperti inspeksi militer — semua harus terlihat “sibuk tapi lapar.”
Suatu siang, Rizal dan teman-temannya memutuskan untuk makan di pantry sambil nonton video lucu. Saat adegan paling kocak sedang diputar, pintu pantry mendadak terbuka keras. Dan, tentu saja, yang muncul adalah Pak Herman.
“Kalian sedang apa? Kantor ini bukan bioskop!”
Rizal yang sedang memegang sendok langsung gugup dan berkata:
“Eh… ini, Pak, kami sedang evaluasi stres kerja lewat video edukatif…”
“Evaluasi stres?” ulang Pak Herman dengan alis terangkat.
Tiba-tiba dari layar terdengar suara video:
“Cintaku ditolak, ayamku hilang!”
Seketika semua menunduk. Rizal siap-siap mental ditegur. Tapi anehnya, Pak Herman justru menatap layar dan… tertawa! Tertawa keras hingga wajahnya memerah.
“Lucu juga ini! Ulangi, ulangi!”
Hari itu, untuk pertama kalinya, seluruh karyawan melihat bos galak mereka tertawa sampai air mata keluar. Sejak itu, pandangan mereka terhadap Pak Herman mulai berubah.
Misi Membuat Bos Tersenyum
Setelah kejadian “video ayam” dan “evaluasi stres”, Rizal mulai sadar bahwa di balik sikap tegasnya, Pak Herman sebenarnya tidak sekejam yang dibayangkan. Ia hanya disiplin dan ingin semua karyawan serius dalam bekerja.
Suatu hari, Rizal berinisiatif membuat presentasi baru yang berbeda. Kali ini, ia menambahkan satu slide bonus di akhir dengan tulisan:
“Terima kasih, Pak Herman — karena tanpa ketegasan Bapak, kami tidak akan sekuat sekarang.”
Begitu slide itu muncul di layar, semua orang tepuk tangan. Pak Herman yang awalnya tampak kaget hanya tersenyum kecil dan berkata:
“Bagus. Tapi jangan kira saya jadi tidak galak ya. Besok tetap masuk jam 8.”
Seluruh ruangan tertawa. Sejak saat itu, suasana kerja di kantor terasa lebih hangat. Rizal bahkan sering jadi “juru damai” ketika rekan lain panik karena dimarahi.
Insiden Kue Ulang Tahun
Saat kue dibawa masuk, lampu dimatikan, dan semua berteriak,
“Selamat ulang tahun, Pak Herman!”
Rizal melangkah ke depan membawa kue… dan terpeleset karena kabel proyektor. Kue melayang tinggi, mendarat tepat di meja kerja Pak Herman. Lapisan krimnya menutupi sebagian dokumen dan… wajah Pak Herman!
Seluruh ruangan menahan napas. Tapi tiba-tiba, Pak Herman membuka mata pelan dan berkata dengan nada datar:
“Kalau ini cara kalian memberi ucapan… saya harap ulang tahun berikutnya saya cuti.”
Lalu, ia mengambil sepotong kue yang menempel di mejanya dan memakannya.
“Tapi… rasanya lumayan.”
Dan semuanya pecah dalam tawa. Rizal lega luar biasa — meski sejak hari itu, ia dijuluki “Chef Flying Cake”.
Pelajaran dari Bos Galak
Waktu berlalu. Rizal sudah bekerja hampir dua tahun. Dari berbagai insiden lucu dan menegangkan, ia belajar bahwa bos galak tidak selalu berarti jahat. Terkadang, mereka hanya ingin disiplin dan memastikan tim bekerja maksimal.
Bahkan, di banyak kesempatan, Pak Herman diam-diam membantu karyawan yang kesulitan. Ia jarang memuji, tapi selalu memperhatikan. Saat ada karyawan sakit, ia memastikan jatah makan siang tetap dikirim. Saat Rizal lembur, ia datang diam-diam dan meninggalkan kopi panas di meja.
Rizal akhirnya sadar: di balik suara berat dan wajah tegas itu, ada hati lembut yang peduli — hanya cara penyampaiannya saja yang berbeda.
Akhir Cerita: Dari Takut Menjadi Kagum
Suatu sore, kantor mengadakan rapat evaluasi tahunan. Pak Herman mengumumkan bahwa salah satu karyawan akan dipromosikan menjadi supervisor baru. Semua menebak-nebak siapa yang beruntung. Ketika namanya disebut, Rizal hampir tidak percaya.
“Selamat kepada Rizal, atas dedikasi dan… meski sering membuat kejutan tak terduga, tetap bertanggung jawab dan membawa semangat di kantor ini.”
Seluruh ruangan bertepuk tangan. Rizal berdiri dengan wajah bahagia bercampur gugup. Ia menatap bosnya dan berkata,
“Terima kasih, Pak. Tapi kalau boleh jujur, Bapak tetap galak, tapi sekarang saya tahu alasannya.”
Pak Herman tersenyum — senyum yang langka tapi tulus.
“Ya, kalau saya tidak galak, kamu mungkin masih sibuk menonton ayam dangdut di kantor.”
Semua tertawa keras. Bahkan Rizal pun ikut ngakak sambil menunduk malu. Tapi di balik tawa itu, ada rasa bangga — karena dari semua kejadian lucu dan kesalahan kecil, justru itulah yang membuat hubungan mereka menjadi lebih manusiawi.
Kesimpulan
Kisah Rizal menghadapi bos galaknya mengajarkan satu hal penting: setiap orang punya sisi lembut di balik ketegasan. Kadang, kita hanya perlu sedikit humor dan kejujuran untuk melihatnya.
Bos galak bukan musuh, tapi cermin agar kita lebih disiplin. Dan lucunya hidup di kantor, justru muncul dari momen-momen kecil yang tidak sempurna.
Jadi, kalau kamu punya bos yang galak, jangan langsung takut. Siapa tahu, di balik wajah serius itu tersimpan tawa lepas yang hanya menunggu waktu untuk keluar — mungkin saat kamu terpeleset membawa kue, atau ketika ayam dangdut kembali tampil di layar rapat.